(Opini) Eksoterisme Versus Esoterisme

By Admin

nusakini.com--Ketika menulis catatan ini saya sedang berada di jantung kota Makkah, Saudi Arabia. Sebagai Muslim, saya sudah melaksanakan ibadah umrah dengan mengelilingi Ka'bah tujuh putaran serta menapak-tilas jejak Siti Hajar antara bukit Shafa dan bukit Marwa tujuh etape sesuai syariat Nabi Muhammad SAW. Ibadah pertama disebut thawaf yang berarti berkeliling, ibadah kedua disebut sa'i yang berarti berusaha. 

Saya bukan hendak menceritakan ibadah dan doa-doa rahasia saya pada Allah ke ruang publik. Apa yang hendak saya tegaskan adalah bahwa saat melaksanakan ibadah umrah itu, saya hanya dibalut dua lembar kain putih tak berjahit. Tentu saja saya tidak mengenakan celana dalam. Ribuan lelaki Muslim yang melakukan ibadah yang sama saat itu juga tidak mengenakan celana dalam. Kami tahu sama tahu dan, karena itu, kami tak peduli. Ribuan jemaah perempuan yang melaksanakan ibadah yang sama di kanan-kiri kami pun, dugaan positif saya, juga tidak peduli. 

Dari pelajaran sejarah dan antropologi bangsa Arab saya tahu bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir lalu diangkat jadi utusan Allah, orang-orang Arab melakukan thawaf dan sa'i dalam keadaan telanjang bulat. Itu bahkan terjadi sampai tahun kesembilan hijriah. Abu Bakar, sebagai amir hajj pertama dalam Islam, diperintahkan oleh Nabi untuk memastikan tak ada lagi orang thawaf dan sa'i dalam kondisi bugil di tahun kesembilan hijriah. Sebagai gantinya, mereka diberikan dua lembar kain putih dan inilah yang dikenal sebagai baju ihram. 

Dengan demikian, penggunaan baju ihram oleh kaum lelaki Muslim yang berumrah atau berhaji sejatinya adalah simbol perpindahan dari dimensi binatang tanpa adab menuju dimensi manusia yang penuh peradaban. Saya sangat menghayati simbol perpindahan spiritual ini saat berihram. Tapi, jika demikian adanya, saya masih kerap bertanya mengapa tidak sekalian saja saat berihram kaum lelaki Muslim dibolehkan memakai celana dalam agar lebih sempurna perpindahan spiritualitas itu? 

Saat bertanya seperti ini, saya kerap mendengar jawaban bahwa orang mengenakan ihram tak ubahnya orang mengenakan kain kafan. Orang mati juga tak mengenakan celana dalam saat masuk ke liang kubur. Filosofi ini menarik buat saya meski saya yakin, tentu ada hikmah lain di balik perintah berihram tanpa celana dalam ini. 

Di tengah pengembaraan bertahun-tahun mencari jawaban eksistensial ini, seorang hamba Allah empat hari lalu mengirimkan berita menarik kepada saya. Dalam berita itu disebutkan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin hadir dalam Peringatan Asadha Mahapuja umat Budha di Candi Borobudur, Magelang, Minggu 22 Juli 2018. Berita ini amat sangat menarik karena dua hal. Pertama, Menag menyampaikan pidato berjudul "Kitab Suci Sumber Gagasan dan Inspirasi". Kedua, dalam berita itu Menag terlihat berfoto bersama dua Bante Budha yang mengenakan pakaian serupa baju ihram umat Islam. Jika umat Islam mengenakan baju ihram warna putih, Bante Budha mengenakan baju dengan model yang sama berwarna kuning tua. 

Kalau begitu, samakah ajaran Budha dan Islam karena keduanya sama mensyariatkan model "baju tak berjahit" pada penganut masing-masing saat beribadah khusus? 

Dalam perspektif "eksoterisme", tak ada satu agama pun sama dengan agama-agama lainnya. Eksoterisme adalah "sisi luar" setiap agama. Misalnya dalam Islam saya salat di masjid, umrah atau haji di Makkah, puasa di bulan Ramadhan, membaca Al-Qur'an, dan sebagainya. Sedang umat Budha beribadah di candi, berpuasa dengan cara mereka, atau mengaji Tripitaka. Umat Kristen beribadah di gereja, membaca Injil, berpuasa dengan cara mereka, sedang umat Yahudi beribadah di sinagog, membaca Taurat, juga berpuasa dengan cara mereka. Secara eksoteris, agama-agama pasti berbeda. 

Tapi, semua agama itu pasti mengajarkan dan menyuruh para penganutnya berbuat baik di dunia, mencintai sesama umat manusia tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras dan golongan, tidak menzalimi orang lain, sayang pada alam sekitar, dan semua itu dilakukan karena persembahan dan ketertundukan pada Tuhan yang Satu, yang menciptakan jagad raya ini. Inilah yang disebut ‘’esoterisme’’ atau "sisi dalam" agama-agama. Semua agama di dunia pasti sama dan bertemu di satu titik yang disebut ‘’esoterisme’’ ini. Jika ada agama yang menyuruh penganutnya membunuh umat manusia secara membabi-buta, merusak alam, membenci orang lain apalagi karena perbedaan suku, agama, ras dan golongan, itu pasti bukan agama! 

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin adalah seorang Muslim dan pasti kitab suci yang ia yakini adalah Al-Quran, sedang nabi yang ia imani adalah Muhammad SAW. Tapi toh, saat memberi sambutan pada Peringatan Asadha Mahapuja di Candi Borobudur itu, ia menyampaikan pidato berjudul "Kitab Suci Sumber Gagasan dan Inspirasi". Saya yakin, ini dilakukan Lukman karena ia percaya bahwa secara eksoteris, Al-Quran dan Tripitaka pastilah berbeda, tapi secara esoteris kedua kitab suci itu -- bersama Injil, Taurat, Zabur dan semua kitab suci agama-agama lain -- pasti menggelontorkan gagasan dan inspirasi kehidupan. Karena itu, mari kita berhenti bertengkar akibat perbedaan agama. 

Beragama yang baik, menurut saya, adalah bagaimana kita menjalankan eksoterisme agama yang kita imani karena patuh pada Tuhan yang Satu dengan sepenuh hati, jika perlu tunduk dan patuh secara total sekalipun kita diperintah memakai dua kain tanpa celana dalam, mengelilingi kubus hitam atau melempar batu-batu kecil ke arah batu besar, dengan niat dan tekad berbagi kebaikan yang kita peroleh dari eksoterisme beragama itu pada orang lain -- siapa pun mereka. Dalam eksoterisme, semua agama pasti berbeda. Tapi dalam esoterisme, agama-agama adalah satu dalam tujuan membangun peradaban dan kemanusiaan. 

Bukan beragama jika kita menghalangi orang lain berbagi kasih lewat sumber kebaikan yang mereka yakini. Bukan beragama jika kita mengadu domba atau mau diadu domba atas nama agama-agama. 

Penulis : Helmi Hidayat, Konsultan Ibadah PPIH, Dosen UIN Jakarta